Kamis, 27 Mei 2010

BUILD, OPERATE AND TRANSFER (BOT) by Laila, sari, desi dan diah.. ^_^

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagai negara berkembang, kepadatan penduduk terus bertambah dan menuntut penambahan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur). Untuk melakukan pengadaan infrastruktur itu dibutuhkan dana yang sangat besar, yang akan terasa berat apabila hanya dibebankan pada APBN. Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model baru pembiayaan proyek pembangunan.
Dalam pengadaan infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif pendanaan, pemerintah melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-proyeknya.
Pastisipasi swasta ini dapat diarahkan pada proyek yang membutuhkan dana besar, seperti pembangunan jalan tol, migas, bendungan, pembangunan mall, perluasan bandara, maupun pembangkit listrik. Namun, dapat juga diarahkan pada proyek infrastruktur yang tidak membutuhkan dana yang terlalu besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest area, resort, dll. Yang terpenting proyek tersebut dapat memberikan income atau pendapatan ekonomi bagi kontraktor (revenue yang cepat).
Salah satu cara pembiayaan proyek dapat dilakukan dengan mengajak pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah dengan sistem BOT (Build Operate and Transfer). Ada pula cara Ruislag , tetapi model BOT banyak memberikan kelebihan bagi pihak-pihak yang terkait (pemerintah atau kontraktor).
Pembiayaan proyek dengan BOT mencakup dari studi kelayakan, pengadaan barang, pembiayaan, sampai dengan pengoperasian. Di sini pelaksana proyek mendapat hak konsesi untuk jangka waktu tertentu guna mengambil manfaat ekonominya dan pada akhirnya mengembalikan semua aset tersebut pada pemerintah pada saat berakhirnya masa konsesi.
Dalam prosesnya, pelaksanaan proyek akan menemui berbagai permasalahan. Oleh sebab itu perlu dirancang secara baik agar proyek BOT dapat berjalan baik serta memberikan keuntungan kepada pihak yang terkait.
BOT yang baik bukan BOT yang semua risiko ditanggung salah satu pihak, tetapi BOT yang dapat berbagi risiko secara seimbang di antara pihak-pihak yang terlibat. (Budi Santoso, 2008 : 6)
Kerjasama jenis BOT ini telah lama diadopsi oleh negara-negara maju, misalnya pada proyek Anglo-French Channel Tunnel. Belakangan, negara-negara berkembang juga mulai banyak mengadopsi model ini, misalnya proyek jembatan dan bandara di Hong Kong, energi dan jalur kereta api di Cina, jalan raya dan bandara di Malaysia, telekomunikasi di Thailand, energi di Filipina, proyek energi thermal di Pakistan, dan sebagainya.

PENGERTIAN BOT (BUILD OPERATE TRANSFER)

BOT, disebut juga sistem bangun guna serah, merupakan suatu konsep dimana proyek dibangun dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta maupun beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh kontraktor, kemudian setelah tahapan pengoperasian selesai dilakukanlah pengalihan proyek pada pemerintah selaku pemilik proyek sesuai dengan perjanjian BOT.
Pada dasarnya BOT adalah suatu bentuk pembiayaan proyek pembangunan dimana pelaksana proyek harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya pelaksana proyek diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini, pemilik proyek memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila semuanya berjalan sesuai dengan rencana, maka pada akhir masa kontrak atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah, maka pemilik proyek dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.
Kontrak BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company) dalam membangun infrastruktur publik yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur tanpa pengeluaran dana dari pemerintah, dimana pihak swasta (badan usaha) bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Pihak swasta mendapatkan revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode konsesi berlangsung. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
Build Operate Transfer contract didesain untuk membawa investasi sektor swasta membangun infrastruktur baru. Pada BOT, sektor swasta akan membangun, membiayai, dan mengoperasikan infrastruktur baru dan sistem baru yang sesuai standar pemerintah. Periode operasinya cukup lama agar sektor swasta dapat menerima kembali biaya-biaya konstruksi dan mendapatkan keuntungan. Jangka waktu operasi tersebut adalah 10-30 tahun. Setelah periode operasi selesai, seluruh infrastruktur diserahkan kepada pemerintah. (Bastian, 2001)

Dengan demikian paling tidak ada 3 ciri proyek BOT, yaitu :
1. Pembangunan (Build)
Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada pemegang hak (pelaksana proyek) untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama / participate interest). Desain dan spesifikasi bangunan merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik proyek.
2. Pengoperasian (Operate)
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek kepada pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik proyek dapat juga menikmati hasil sesuai dengan perjanjian jika ada.
3. Penyerahan Kembali (Transfer)
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek kepada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.

Berdasarkan pengertian yang dimaksud di atas, maka unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (Build, Operate, and Transfer / BOT) atau BOT Agreement, adalah :
a. Investor (penyandang dana)
b. Tanah
c. Bangunan komersial
d. Jangka waktu operasional
e. Penyerahan (transfer)

PENGATURAN BOT

Pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan perjanjian BOT diatur oleh :
- Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
- Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
- UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1991 tentang Keputusan Presiden Tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
- Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan Atau Pengelolaan Infrastruktur
- Keputusan Menteri Keuangan No. 234/KMK-04/1995.
- SK Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah Nomor 11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
- Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Build Operate and Transfer”).
- Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005.
- Serta peraturan lain yang mendukung.

MEKANISME PERJANJIAN BOT

Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian BOT atau BOT Agreement, maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana). Obyek dalam perjanjian BOT kurang lebih yaitu :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk tujuan :
- Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya.
- Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan sebagainya.
- Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk menghasilkan produk tertentu.

Perjanjian BOT ini terjadi dalam hal, jika :
1. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat berdirinya bangunan komersial tersebut.
3. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu.
4. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.

Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek infrastruktur dengan pola BOT yang didasarkan atas kepentingan Pemerintah Daerah, yaitu :
1. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet financing).
2. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya.
3. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan (additional finance sources for priority projects).
4. Tambahan fasilitas baru.
5. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor swasta.
6. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing.
7. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara-negara berkembang.
8. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi.

Sebelum menentukan serta untuk keberhasilan pembangunan dan pengoperasian suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola BOT, maka secara konseptual perlu dipertimbangakan faktor-faktor :
1. Tipe fasilitas.
2. Manfaat sosialnya.
3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor.
4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri.
5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut.
6. Besar ekuitas yang akan dipakai.
7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah.
8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut.
9. Jangka waktu konsesi.
10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan.

Tata Cara Pelaksanaan BOT

I. Pertimbangan
BOT dilakukan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

II. Barang Milik Negara yang dapat Dijadikan Objek BOT
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek BOT adalah Barang Milik Negara yang berupa tanah, baik tanah yang ada pada Pengelola Barang maupun tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang.

III. Subjek Pelaksanaan BOT
1. Pihak yang dapat melaksanakan BOT Barang Milik Negara adalah Pengelola Barang.
2. Pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BOT adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Hukum lainnya.

IV. Ketentuan dalam Pelaksanaan BOT
1. Selama masa pengoperasian BOT, Pengguna Barang harus dapat menggunakan langsung objek BOT, beserta sarana dan prasarananya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan penetapan dari Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas objek dan sarana prasarana BOT dimaksud.
2. Jangka waktu pengoperasian BOT oleh mitra BOT paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
3. Kewajiban mitra BOT selama jangka waktu pengoperasian:
a. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
b. tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT;
c. memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
4. Pemilihan mitra BOT dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.
5. Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah besaran kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.
6. Nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BOT Barang Milik Negara ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan penilai.
7. Pembayaran kontribusi dari mitra BOT, kecuali untuk pembayaran pertama yang harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian BOT, harus dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian BOT dimaksud, dengan penyetoran ke rekening kas umum negara.
8. Keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal tersebut pada butir 7 akan dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 ‰ (satu per seribu) per hari.
9. Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak tiga kali dalam jangka waktu pengoperasian BOT, Pengelola Barang dapat secara sepihak mengakhiri perjanjian.
10. Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan, konsultan pengawas, biaya konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan objek BOT, dan biaya audit oleh aparat pengawas fungsional menjadi beban mitra kerjasama pemanfaatan.
11. Setelah masa pengoperasian BOT berakhir, objek pelaksanaan BOT harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan kepada Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang.
12. Setelah masa pemanfaatan berakhir, bangunan dan fasilitas hasil BOT ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
13. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BOT harus atas nama Pemerintah Republik Indonesia.

V. Tata Cara Pelaksanaan BOT
1. BOT atas tanah yang berada pada Pengelola Barang
a. Pengelola Barang menetapkan tanah yang akan dijadikan objek BOT berdasarkan hasil penelitian kelayakan tersebut.
b. Pengelola Barang membentuk tim yang beranggotakan unsur Pengelola Barang, Pengguna Barang, serta dapat mengikutsertakan unsur instansi/lembaga teknis yang kompeten.
c. Tim bertugas untuk melakukan pengkajian tanah yang akan dijadikan objek BOT serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis, termasuk tetapi tidak terbatas untuk menyiapkan rincian kebutuhan bangunan dan fasilitas yang akan ditenderkan, penelitian indikasi biaya yang diperlukan untuk penyediaan bangunan dan fasilitasnya, dan melakukan tender calon mitra BOT.
d. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai limit terendah besaran kontribusi BOT atas Barang Milik Negara yang akan menjadi objek BOT.
e. Penilai menyampaikan laporan penilaian kepada Pengelola Barang melalui Tim.
f. Tim menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang terkait dengan hasil pengkajian atas tanah, dengan disertai perhitungan nilai limit terendah besaran kontribusi BOT dari penilai.
g. Berdasarkan laporan tim dimaksud, Pengelola Barang menerbitkan surat penetapan nilai tanah yang akan dilakukan BOT dan nilai limit terendah kontribusi atas pelaksanaan BOT, dan rencana kebutuhan bangunan dan fasilitasnya.
h. Berdasarkan surat penetapan tersebut, tim melakukan tender pemilihan mitra BOT.
i. Hasil pelaksanaan tender disampaikan kepada Pengelola Barang untuk ditetapkan dengan menerbitkan surat keputusan pelaksanaan BOT dimaksud, yang antara lain memuat objek BOT, nilai kontribusi, mitra BOT, dan jangka waktu BOT.
j. Pelaksanaan BOT dituangkan dalam perjanjian BOT antara Pengelola Barang dengan mitra BOT.
k. Mitra BOT menyetorkan ke rekening kas umum negara uang kontribusi tetap setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari kecuali untuk tahun pertama selambat-lambatnya pada saat perjanjian BOT ditandatangani.
l. Pengelola Barang melakukan monitoring, evaluasi, dan penatausahaan pelaksanaan BOT dimaksud.
m. Penyerahan kembali objek BOT beserta fasilitasnya kepada Pengelola Barang dilaksanakan setelah masa pengopersian BOT yang diperjanjikan berakhir dan dituangkan dalam suatu berita acara serah terima barang.
2. BOT atas tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang
a. Pengguna Barang menyerahkan tanah yang akan dijadikan objek BOT kepada Pengelola Barang dengan disertai usulan BOT dan dokumen pendukung berupa lokasi/alamat, status dan bukti kepemilikan, luas, harga perolehan/NJOP, dan rencana pembangunan gedung yang diinginkan.
b. Berdasarkan usulan dari Pengguna Barang, selanjutnya mekanisme BOT dilaksanakan mengacu pada ketentuan pada angka Romawi IV.1.

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK BOT

Para pihak yang terlibat dalam pembangunan dengan pola BOT ini adalah:
1. Prinsipal / Grantor / Pemilik Proyek adalah pihak yang secara keseluruhan bertanggungjawab atas pemberian konsesi dan merupakan pemilik akhir dari proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu. Dalam hal ini Pemerintahlah yang bertindak sebagai Prinsipal atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2. Promotor / Pelaksana Proyek adalah suatu badan hukum/organisasi yang diberi konsesi untuk membangun, memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi promotor ini biasanya didukung oleh pihak-pihak lain, seperti : Contractor, Investor, Operator, Supplier, Lender, dan User. Pihak yang disebutkan ini masing-masing dapat menjadi satu dengan promotor ataupun terpisah.

Prinsipal / Grantor / Pemilik proyek
Kewajiban
Sebagai pemegang hak pengelolaan, memberikan kuasa kepada pelaksana proyek.
Hak
 Menikmati hasil sesuai perjanjian jika ada.
 Menerima fasilitas infrastruktur setelah masa perjanjian berakhir.
Promotor / Pelaksana proyek
Kewajiban
 Membangun dan mengoperasikan sebuah sarana dan prasarana umum sesuai dengan standar kerja yang diterapkan pemilik proyek
 Menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek
 Mengembalikan proyek pada pemilik proyek pada akhir masa kontrak
 Membayar fee kepada pemilik proyek apabila diperjanjikan
 Membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
 Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT;
 Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
Hak
 Mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
 Mengambil seluruh atau sebagian keuntungan.

Kelemahan Dan Kelebihan BOT

Kelebihan :
1. Pemilik proyek
• Kontrol pemilik proyek terhadap kinerja operasional, standar pelayanan, dan perawatannya.
• Kemampuan untuk mengakhiri kontrak jika standar kinerja tidak terpenuhi, walaupun fasilitas dapat terus digunakan.
• Pemilik proyekdapat memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
• Penghematan terhadap desain, konstruksi, dan arsitekturnya.
• Pemilik proyek dapat membangun infrastruktur dengan biaya perolehan dana dan tingkat bunga yang relatif rendah atau tidak mengeluarkan dana untuk pembangunan sebuah proyek.
• Pemilik proyek dapat mengurangi beban penggunaaan dana APBN/APBD atau pinjaman luar negeri.
• Proyek BOT secara financial menguntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan studi kelayakan, biaya operasional.
• Pemilik proyek daerah juga tidak menanggung risiko kemungkinan terjadinya perubahan kurs.
2. Pelaksana proyek
• Pembangunan infrastruktur dengan metode BOT merupakan pola yang menarik, karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya.
• Dengan proyek BOT, pelaksan proyek dapat membuka peluang dan diberi kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani pemerintah atau BUMN/BUMD.
• Pelaksana proyek dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemilik proyek.
• Merupakan inovasi dalam pembiayaan proyek yang umumnya berbeda dengan proyek biasa, meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan daya saing perbankan dalam negeri.

3. Publik
• Publik akan mendapatkan sarana dan prasarana utnuk umum yang dibutuhkan oleh masyrakat.
• Publik mendapat manfaat dari keahlian partner swastanya.
• Publik mendapatkan manfaat dari penghematan operasi dari partner swasta.
• Publik dapat mempertahankan kepemilikan aset.
• Kepemilikan publik dan kontrak diluar operasi tidak dapat dikenai pajak.
• Publik mempertahankan otoritas terhadap kualitas layanan dan pembayarannya.
• Bagi pihak swasta, termasuk lawyer, perbankan, enginer, dan yang lain, dapat berperan mengambil bagian dalam penanganan dan pengoperasian proyek yang sangat potensial mendatangkan keuntungan.

Kelemahan :
1. Pemilik proyek
• Jika pelaksana proyek bangkrut, maka pemilik proyek yang harus melanjutkan operasi proyek dan memberikan subsidi.
• Bagi pemilik proyek, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan menyerahkannya pada pihak swasta.
• Hilangnya salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya pada swasta untuk jangka waktu tertentu.
• Dalam beberapa hal, pemilik proyek masih diikutsertakan dalam masalah yang rumit, seperti pembebasan tanah, pemindahan lokasi, dsb.
2. Pelaksana Proyek
• Kemungkinan pemindahan entitas sektor swasta atau penyelesaian kontrak ketika terjadi kebangkrutan partner swasta.
• Bagi pelaksana proyek terdapat kemungkinan menanggung semua risiko karena pemerintah sebagai pemilik proyek tidak mau berbagi risiko atas proyek BOT, sampai dengan control atas proyek itu diserahkan kembali kepada pemilik proyek.
• Lebih rawan terjadi korupsi, ada anggapan bahwa tidak mungkin mendapatkan proyek pemerintah tanpa mengeluarkan dana untuk menyuap ofisialnya.
• Perusahaan swasta sebagai suatu entitas bisnis pada umumnya memiliki keterbatasan dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur, menyebabkan pola BOT menjadi kurang diminati investor.
• Selama kurun waktu pengoperasian infrastruktur oleh pihak investor, mungkin saja terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak investor.
• Kemungkinan kesulitan pendanaan oleh investor karena perbankan mengganggapnya tidak bankable untuk dibiayai.

RISIKO PROYEK BOT

Karena proyek BOT membutuhkan dana yang besar, maka proyek BOT juga rentan terhadap risiko. Risiko yang umumnya ada pada proyek BOT antara lain :
1. Risiko konstruksi (construction and operation risk), yaitu kemungkinan konstruksi proyek tersebut tidak dapat dipenuhi pada waktu yang telah ditentukan. Konsekuensi atas penyelesaian keterlambatan proyek konstruksi, seharusnya diperjanjikan dalam kontrak. Untuk itu dapat dipertimbangkan pengenaan penalty atau ganti kerugian untuk suatu keterlambatan atau meminta jaminan pelaksanaan (performance bond) pada tingkatan yang berbeda.
2. Risiko biaya yang ternyata melebihi estimasi semula.
Apabila terjadi hal ini, maka dapat diperjanjikan dalam kontrak adanya harga yang pasti atau dapat pula diusahakan agar risiko tersebut ditanggung bersama-sama antara para pihak. Dapat juga melakukan penyediaan stanby credit atau akses pada penyertaan modal tambahan.
3. Risiko politik (political risk), yaitu berkaitan dengan stabilitas negara, misalnya huru hara, unjuk rasa, perang, dsb.
Secara teori, political risk dapat berupa project discruption caused by adverse acts of government, yaitu tindakan atau perbuatan yang berasal dari pemerintah atau agent of the government yang dapat mengganggu jalannya proyek BOT. Political risk sendiri dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :
- Traditional political risk yang berupa pengambilalihan perusahaan dengan atau tanpa ganti rugi yang dikenal dengan tindakan nasionalisasi (nationalization of the project company’s assets) atau aturan perpajakan baru yang merugikan prospek perolehan keuntungan ekonomi proyek BOT tersebut.
- Regulatory risk dapat berupa perubahan peraturan yang merugikan proyek BOT, pengetatan standar baru, pembukaan sektor baru yang mendatangkan banyak kompetisi.
- Quasi-commercial risk dapat berupa pemutusan hubungan kontrak oleh pemerintah atau terdapatnya perubahan dalam planning pemerintah dsb.
4. Risiko musibah (project discruption caused by events outside of the control of the parties), yaitu bencana alam yang dapat mengganggu jalannya proyek, misalnya gempa, banjir, badai, dll.
Dalam hal ini asuransi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi risiko tidak terduga ini, walaupun pemerintah membantu memberikan jaminan terhadap gangguan-gangguan tersebut.
5. Risiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek.
Gangguan supply bahan baku akan sangat mengganggu jalannya sebuah proyek, oleh karena itu sebelumnya perlu dibuat kontrak dengan supplier untuk meminimalisasi risiko tersebut. Jaminan dari pemerintah atas supplier bahan baku barangkali akan sangat membantu apabila dapat dilakukan.
6. Risiko pasar (commercial risk), yang berkaitan dengan produk yang akan dijual atau jasa yang akan dilakukan ternyata dapat menutup semua pengeluaran yang telah dilakukan.
Apabila barang atau jasa yang dihasilkan proyek BOT tidak dapat dijual pada harga yang diprediksikan maka kemungkinan kelangsungan hidup dari proyek tersebut akan terancam, untuk itu rencana yang matang dan studi kelayakan yang teliti dan cermat barangkali akan dapat meminimalisasi risiko ini.
7. Risiko pertukaran mata uang asing/exchange rate.
Ada kalanya proyek BOT membutuhkan dana pinjaman dalam bentuk valuta asing sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk mata uang lokal. Pada saat jatuh tempo tidak jarang kontraktor harus mengembalikan dalam bentuk valuta asing. Pada saat pengembalian dana pinjaman, tidak jarang terjadi perubahan nilai tukar yang sangat tinggi.
JENIS-JENIS KONTRAK DALAM BOT

Jenis-jenis Kontrak yang terkait dalam kegiatan pembangunan dan pengoperasian proyek/fasilitas infrastruktur dengan pola BOT, meliputi antara lain :
1. Kontrak Konsesi (Concession Agreement)
Kontrak antara Prinsipal dan Promotor. Kontrak ini menjadi dasar dari kontrak-kontrak lainnya.
2. Kontrak Konstruksi (Construction Contract)
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan kontraktor. Dalam sejumlah proyek kedua pihak dapat menjadi satu pihak.
3. Kontrak Suplai (Supply Contract)
Kontrak antara Supplier dan Promotor tentang suplai bahan-bahan mentah untuk proyek bersangkutan.
4. Shareholder Agreement
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan Investor. Investor disini dapat diartikan sebagai penyandang dana yang ikut membiayai proyek. Dapat berasal dari Lembaga keuangan ataupun individu.
5. Kontrak Operasional (Operation Contract)
Kontrak antara Promotor dan Operator tentang pengoperasian atau pemeliharaan fasilitas yang telah dibangun.
6. Kontrak Pinjaman (Loan Agreement)
Kontrak yang dibentuk antara Lender dan Promotor seputar sumber pembiayaan. Lender dapat berupa bank-bank investasi, dana pensiun, lembaga penyedia kredit ekspor yang menyediakan dana bagi pembiayaan fasilitas tertentu.
7. Offtake Contract
Kontrak ini dibentuk antara User dan Promotor. Pola BOT ini sangat kompleks sehingga membutuhkan pengetahuan yang cukup bagi aparat daerah untuk melaksanakannya. Pelaksanaan yang salah akan membawa kerugian baik bagi pemerintah daerah sendiri maupun bagi masyarakat, termasuk juga investor.

Pembekalan pengetahuan tentang pola BOO/BOT ini hendaknya secara berkesinambungan diberikan kepada aparat pemerintah di daerah. Berbagai disiplin ilmu harus saling melengkapi dalam proyek ini. Untuk bidang hukum, pakar konstruksi haruslah dilibatkan dalam memberikan pembekalan baik dari segi dasar hukum, teknis dan prosedur yang diatur oleh peraturan perundangan serta bentuk kontrak yang sesuai bagi keperluan proyek bersangkutan.

KONTRAK KONSESI PADA PROYEK BOT

Perbedaan utama BOT dengan pembiayaan proyek lain adalah pada masalah konsesi, yaitu konsesi antara pemilik proyek dengan pelaksana proyek. Kontrak ini didukung dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah setempat, biasanya berupa SK Bupati, Walikota, persetujuan DPRD setempat.
Kontrak konsesi ini memberikan hak pada kontraktor untuk membangun dan mengoperasikan proyek serta mengambil keuntungan dalam jangka waktu tertentu, dan pada akhir masa konsesi yang disepakati proyek tersebut dikembalikan kepada pemerintah.
Secara umum sebuah kontrak konsesi berisi hal-hal antara lain :
1. Pernyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang eksklusif
Biasanya kontrak BOT dekat sekali dengan monopoli serta tidak jarang keuntungan proyek BOT dapat diraih dengan diberikannya monopoli, walaupun tidak semua proyek BOT terlibat monopoli (misal proyek pembangkit tenaga listrik, persediaan air, dll”). Apabila nilai ekonomi proyek tersebut tergantung pada segi-segi tersebut diatas, maka pemilik proyek harus memberikan hak eksklusif di dalam kontrak konsesinya.
2. Lingkup proyek
Dalam kontrak konsesi, seharusnya secara hati-hati dijelaskan tentang apa saja yang dibutuhkan oleh pelaksana konsesi, apa yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh operator, dan tenggang waktu konsesi diberikan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan operator untuk mengembalikan semua investasi serta biaya yang telah dikeluarkan, bagaimana prospek penyediaan dana , siapa calon pengguna. Dalam beberapa hal dapat dibuat model penyebutan lingkup proyek secara umum kemudian diikuti dengan deskripsi lingkup proyek secara detail.
3. Komitment dukungan pemerintah
Kebanyakan BOT diadakan antara pemerintah dengan swasta dan memerlukan berbagai macam bantuan dari pemerintah. Bantuan yang diberikan harus secara jelas disebutkan, apa bentuknya. Beberapa bantuan yang dapat dilakukan pemerintah setempat dapat berupa :
a) Bantuan yang berkaitan dengan persoalan tanah
Persoalan tanah menjadi kendala awal pelaksanaan proyek BOT, biasanya berkaitan dengan masalah pembebasan tanah. Persoalan ini tentunya akan sulit bila diselesaikan sendiri oleh kontraktor, maka dengan bantuan pemerintah persoalan pembebasan tanah dapat dilakukan dengan lebih bijaksana.
b) Persetujuan lembaga legislatif
c) Penyertaan modal / equity participation
Penyertaan modal akan sangat membantu menyeimbangkan rasio modal dan hutang yang dimiliki kontraktor pelaksana.
d) Subsidi
Pemerintah dapat memberikan subsidi supaya kontraktor dapat tetap mempertahankan untuk memberikan pelayanan dengan standar harga yang rendah.
e) Perlindungan dari persaingan usaha
Adanya jaminan dari pemerintah dalam tenggang waktu tertentu tidak akan melakukan proyek yang sama yang potensial terjadinya persaingan yang dapat menurunkan perolehan ekonomi kontraktor.
f) Diversifikasi keuntungan
Dukungan pemerintah dapat juga berupa diperbolehkannya kontraktor untuk melakukan diversifikasi potensi yang dapat mendatangkan keuntungan. Misalnya dalam pembangunan gedung swalayan, maka kontraktor diberikan hak untuk mengelola perolehan dari sektor parkir dengan kontrak khusus pada pemerintah setempat.
4. Biaya-biaya, Aspek keuangan, Pajak, Asuransi, Pertukaran mata uang asing serta Repatriasi (bila melibatkan kontraktor asing)
Dibutuhkan adanya jaminan untuk menutup asuransi untuk bangunan yang akan dibangun.
5. Persoalan nasionalisasi jika ada (bila melibatkan kontraktor asing)
6. Pengalihan pada operator lain
Dalam kondisi khusus pemilik proyek dapat menunjuk pengganti operator lain tau mengambil alih operasi jika operator tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Untuk itu harus ditegaskan dalam kontrak konsesi.
7. Hak atas property
8. Hukum dan Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah dilakukan dengan Dispute Settlement. Pada umumnya, Dispute Settlement dapat dilakukan melalui pengadilan (dalam negeri/luar negeri), atau dapat melalui penunjukan pribadi/lembaga yang diperbolehkan melakukan arbitrase konflik di bidang pembangunan infrastruktur. Selain itu, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan perkara di luar kedua jalur tersebut, yaitu dengan bermusyawarah untuk mencapai persetujuan.

PEMBIAYAAN PROYEK BOT

Pembiayaan BOT dapat bersumber pada 2 hal :
• Pembiayaan yang berasal dari pinjaman (debt finance)
Umumnya berasal dari pinjaman pasar komersial, berasal dari perbankan. Pinjaman dapat berjangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Pendanaan ini tergantung pada suku bunga mengambang (floating intrest) dan jangka waktunya lebih pendek daripada jangka waktu konsesi proyek yang didanai. Pendanaan model ini tidak melibatkan ikut sertanya pertanggungjawaban pemberi pinjaman dalam risiko proyek, sehingga dikenal dengan sebutan “unsubordinated” atau “senior” loans.
• Pembiayaan yang berasal dari penyertaan (equity investment)
Equity investment diperoleh dari dana yang dimiliki oleh kontraktor sendiri atau berasal dari investor individual. Namun, pendanaan BOT dapat didanai oleh pemerintah dan kontraktor yang ditanggung secara bersama dalam prosentase tertentu yang sering dikenal dengan public-private partnership.
• Cara lain
Pendanaan proyek BOT dapat diperoleh dari lembaga keuangan, investment funds, insurance companies, pension funds, sarana capital market funding, atau International financial institution (misalnya World Bank).







Daftar Referensi

Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Metode BOT (Build Operate Transfer), 2008, Yogyakarta : Genta Press.
Robby Wibowo, Pola BOO/BOT (Build Operate Own / Build Operate Transfer), 15 Mei 2010, http://www.facebook.com/topic.php?uid=54708951988&topic=9418.

Senin, 17 Mei 2010

tugas filpan after mid

MAKALAH

PEMILIHAN UMUM 2009

Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Mata Kuliah Filsafat Pancasila

Disusun oleh :

LAILA NOOR FAUZIAH B2A 007 186

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2009

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................... 1

B. Permasalahan....................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Demokrasi............................................................................................ 5

1. Pengertian.................................................................................. 5

2. Prinsip – Prinsip Demokrasi.......................................................... 6

3. Asas Pokok Demokrasi................................................................. 7

4. Ciri – Ciri Pemerintahan yang Demokrasi....................................... 8

B. Pemilihan Umum 2009.......................................................................... 9

1. Pemilihan Umum......................................................................... 9

2. Pemilihan Umum di Indonesia.................................................... 10

3. Pemilihan Umum 2009............................................................... 12

Pemilihan Umum DPR................................................................ 12

Pemilihan Umum DPD................................................................ 14

Pemilihan Umum DPRD.............................................................. 15

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden........................... 16

C. Kelemahan Pemilihan Umum 2009...................................................... 24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................... 27

B. Saran ................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara harus mempunyai dasar negara. Dasar negara merupakan fundamen atau pondasi dari bangunan negara. Kuatnya fundamen negara akan menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, beraikbat lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee).

Negara kita Indonesia. Dalam pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi oleh filsafat atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideology berarti mengubah eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar negaranya.

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara yaitu Pancasila sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara seperti tersebut di atas, sesuai dengan apa yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4 antara lain menegaskan: “….., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dengan kedudukan yang istimewa tersebut, selanjutnya dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara memiliki fungsi yang kuat pula. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini dikemukakan ketentuan-ketentuan yang menunujukkan fungsi dari masing-masing sila pancasila dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara Indonesia memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain : pengakuan negara terhadap hak bagi setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri, negara menghendaki agar manusia Indonesia tidak memeperlakukan sesame manusia dengan cara sewenang-wenang sebagai manifestasi sifat bangsa yang berbudaya tinggi, pengakuan negara terhadap hak perlakuan sama dan sederajat bagi setiap manusia, jaminan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kewajiban menjunjung tinggi hokum dan pemerintahan yang ada bafi setiap warga negara.

Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Persatuan Indonesia, yaitu: perlindungan negara terhadp segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiba dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan, serta pengakuan negara terhadap kebhineka-tunggal-ikaan dari bangsa Indonesia dan kehidupannya.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama sebagai formulasi negara hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak bersifat absolute.

Yang terakhir adalah ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, antara lain: negara menghendaki agar perekonomian Indonesia berdasarkan atas azas kekeluaraan, penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara, negara menghendaki agar kekayaan alam yang terdapat di atas dan di dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat banyak, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia mendapat perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual, negara menghendaki agar setiap warga negara Indonesia memperoleh pengajaran secara maksimal, negara Republik Iindonesia mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang pelaksanaannya ditur berdasarkan Undang-Undang, pencanangan bahwa pemerataan pendidikan agar dapat dinikmati seluruh warga negara Indonesia menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga, dan negara berusaha membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

B. Permasalahan

1. Apakah contoh implementasi dari sila ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan Perwakilan’?

2. Bagaimana pelaksanaan dari implementasi tersebut?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Demokrasi

1. Pengertian

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadilan yang sama sebagai formulasi negara hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak bersifat absolute. Dengan kata lain, demokrasilah yang terkandung dalam sila keempat tersebut.

Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu.

2. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:

  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

3. Asas Pokok Demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:

  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

4. Ciri-Ciri Pemerintahan Yang Demokrasi

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.

  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Dari pemaparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan umum atau yang lebih kita kenal dengan pemilu. Pada sub bab selanjutnya, penulis berusaha untuk memaparkan mengenai pemilu terutama pemilu 2009 serta pandangan pelaksanaan pemilu tersebut dilihat dari kaca mata demokrasi.

B. Pemilihan Umum 2009

1. Pemilihan Umum

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

2. Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Sedangkan Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004 dan Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.

3. Pemilihan Umum 2009

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur).

Pemilihan Umum Anggota DPR

Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan, dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon anggota DPR, bukan partai politik).

Peserta

Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pada 7 Juli 2008, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar 34 partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009, dimana 18 partai diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 16 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2004 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2004-2009, sehingga langsung berhak menjadi peserta Pemilu 2009. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak menjadi peserta Pemilu 2009, sehingga berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta No. 104/VI/2008/PTUN.JKT, KPU menetapkan 4 partai politik lagi sebagai peserta Pemilu 2009.

Daerah pemilihan

Daerah pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota dalam 1 provinsi, dengan total 77 daerah pemilihan. Jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan berkisar antara 3-10 kursi, yang ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk.

Survei

Survei-survei nasional yang dilakukan lembaga-lembaga survei pada tahun 2007, 2008, dan 2009 menunjukkan tiga tempat teratas kemungkinan akan diperebutkan oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, diikuti partai-partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, serta partai baru Partai Hati Nurani Rakyat.

Hasil

Pada 9 Mei 2009, KPU menetapkan hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 setelah 14 hari (26 April 2009 - 9 Mei 2009) melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara secara nasional. Hasil yang diumumkan meliputi perolehan suara berikut jumlah kursi masing-masing partai politik di DPR. Penetapan jumlah kursi kemudian direvisi oleh KPU pada 13 Mei 2009 setelah terjadi perbedaan pendapat mengenai metode penghitungannya. Revisi kemudian kembali dilakukan berdasarkan keputusan MK. Karena adanya penerapan parliamentary threshold (PT), partai politik yang memperoleh suara dengan persentase kurang dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.

Statistik

Jumlah suara sah: 104.099.785
Jumlah suara tidak sah: 17.488.581
Jumlah pemilih: 121.588.366
Jumlah pemilih terdaftar: 171.265.441
Jumlah yang tidak memilih: 49.677.075

Pemilihan Umum Anggota DPD

Pemilihan Umum Anggota DPD 2009 dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.

Pemilihan Umum Anggota DPRD

Pemilihan Umum Anggota DPRD 2009 dilaksanakan dengan sistem, aturan, dan peserta yang sama dengan Pemilihan Umum Anggota DPR. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ada tambahan 6 partai politik lokal yang berhak mengikuti Pemilihan Umum Anggota DPRD di provinsi tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Hasil Pemilihan Umum untuk DPRD dapat dilihat pada artikel masing-masing daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Lain-lain

  • Pemungutan suara pada Pemilihan Umum 2009 dilakukan dengan cara menandai (mencontreng), berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya dimana pemungutan suara dilakukan dengan cara mencoblos. Pencontrengan dilakukan pada kolom nama partai atau nama/nomor urut calon anggota DPR/DPRD, dan pada nama/foto/nomor urut calon anggota DPD, sebanyak 1 kali.
  • Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 juga diikuti oleh dua orang calon anggota lembaga legislatif eks-warga negara asing: Petra Odebrecht dari Provinsi Bali (DPR, dari PDP, semula warga negara Jerman) dan Robert Ali Sakias dari Provinsi Papua (DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang, dari PDI-P, semula warga negara Papua Nugini).
  • Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyangkut ketentuan sistem nomor urut dalam penentuan calon angggota DPR/DPRD terpilih. Dengan pembatalan ini, penentuan anggota DPR/DPRD terpilih ditentukan oleh suara yang diperoleh masing-masing calon, tanpa melihat nomor urut (sehingga sering disebut sistem suara terbanyak).
  • Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang memungkinkan KPU melakukan perbaikan Daftar Pemilih Tetap sebanyak 1 kali dan mensahkan pencontrengan sebanyak lebih dari 1 kali pada kolom partai politik atau calon anggota DPD yang sama.

Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 (biasa disingkat Pilpres 2009) diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Peserta

Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009 yang memperoleh minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari jumlah suara sah nasional.

Sebelum masa pemilihan umum dimulai, sejumlah tokoh nasional telah menyatakan untuk ikut mencalonkan atau menerima pencalonan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014. Tokoh-tokoh tersebut antara lain ialah Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat (Presiden Indonesia yang sedang menjabat), Muhammad Jusuf Kalla dari Partai Golkar (Wakil Presiden yang sedang menjabat), Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dari PDIP, Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dari PKB, Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung dari Partai Golkar, Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dari PBB, Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng dari jalur independen, dan Hamengkubuwono X dari Partai Golkar (Gubernur Yogyakarta yang sedang menjabat).

Pada kenyataannya, sampai dengan batas akhir masa pendaftaran pada 16 Mei 2009, hanya 3 bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendaftarkan keikutsertaannya kepada Komisi Pemilihan Umum. Pada 29 Mei 2009, ketiga bakal pasangan calon tersebut kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2009, dengan nomor urut yang ditetapkan keesokan harinya.

Kekayaan calon

Pada tanggal 29 Mei 2009, KPU mengumumkan jumlah harta kekayaan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2009. Berikut adalah jumlah yang diumumkan KPU:

· Megawati Soekarnoputri: Rp256.447.223.594

· Prabowo Subianto: Rp1.579.376.223.359 dan US$7.572.916

· Susilo Bambang Yudhoyono: Rp6.848.049.611 dan US$246.359

· Boediono: Rp22.067.815.019 dan US$15.000

· Muhammad Jusuf Kalla: Rp314.530.794.307 dan US$25.668

· Wiranto: Rp81.748.591.938 dan US$378.625

Kampanye

Kampanye Pilpres 2009 diselenggarakan pada 2 Juni hingga 4 Juli 2009 dalam bentuk rapat umum dan debat calon (sebelumnya dijadwalkan pada 12 Juni hingga 4 Juli 2009). Materi kampanye meliputi visi, misi, dan program pasangan calon. Kampanye dalam bentuk rapat umum berlangsung selama 24 hari dalam 3 putaran, mulai dari 11 Juni hingga 4 Juli 2009. Pada setiap putaran, setiap pasangan calon mendapatkan jatah 8 kali rapat umum di setiap provinsi.

Dana kampanye

Rincian dana kampanye masing-masing pasangan calon peserta Pilpres 2009 yang telah diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan oleh KPU pada 17 September 2009 adalah sebagai berikut:


Megawati-Prabowo

SBY-Boediono

JK-Wiranto

Penerimaan

260.241.836.363

232.770.456.232

83.327.864.390

Pengeluaran

260.140.836.562

232.578.847.237

83.307.140.408

Saldo akhir

100.999.744

191.608.995

20.723.982

Debat calon

Debat calon presiden diselenggarakan sebanyak 3 kali, sedangkan debat calon wakil presiden diselenggarakan sebanyak 2 kali. Total alokasi waktu untuk setiap debat adalah 2 jam, dengan konten debat 90 menit yang terdiri dari pemaparan visi, misi, dan program calon selama 7 hingga 10 menit, pertanyaan oleh moderator dan jawaban calon selama 30 menit, pertanyaan oleh moderator dan jawaban calon serta tanggapan calon lain selama 30 menit, serta pernyataan penutup dari masing-masing calon selama 5 menit. Setiap debat diselenggarakan oleh stasiun televisi nasional yang telah ditentukan oleh KPU.

Survei dan hitung cepat

Survei dan hitung cepat dilakukan oleh lembaga survei yang terdaftar ataupun tidak terdaftar di KPU. Lembaga survei yang terdaftar di KPU yaitu Lembaga Survei Indonesia, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara Indonesia, Cirus Surveyors Group, Pusat Studi Nusantara, Lingkaran Survei Indonesia, Jaringan Isu Publik (JIP), Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP), LP3ES, dan Lembaga Survei Nasional (LSN).

Survei

Survei dilakukan untuk mengetahui preferensi publik terhadap (bakal) (pasangan) calon presiden. Berikut adalah sejumlah hasil survei yang dilakukan sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2009.

Hitung cepat

Hitung cepat dilakukan untuk mengetahui hasil Pilpres 2009 secara cepat. Hasilnya diketahui hanya beberapa jam setelah berakhirnya waktu pemungutan suara. Berikut adalah hasil hitung cepat pemungutan suara Pilpres 2009 yang dilakukan oleh beberapa lembaga, dimana seluruhnya menghasilkan SBY-Boediono sebagai pemenang dengan persentase suara sekitar 60%.

Hasil

Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

Pada 25 April 2009, KPU menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pilpres 2009 yang telah diselenggarakan pada 22 - 23 Juli 2009. Hasil Pilpres 2009 berdasarkan penetapan tersebut adalah sebagai berikut.

No.

Pasangan calon

Jumlah suara

Persentase suara

1

Megawati-Prabowo

32.548.105

26,79%

2

SBY-Boediono

73.874.562

60,80%

3

JK-Wiranto

15.081.814

12,41%

Jumlah

121.504.481

100,00%

Statistik:

· Jumlah suara sah: 121.504.481

· Jumlah suara tidak sah: 6.479.174

· Jumlah suara: 127.983.655

Sengketa

Pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo mengajukan keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2009 yang telah ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK), masing-masing dengan perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Isi keberatan yang diajukan kedua pasangan antara lain sebagai berikut:

· Kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)

· Regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS

· Adanya kerjasama atau bantuan IFES

· Adanya spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan

· Beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”

· Adanya berbagai pelanggaran administratif maupun pidana

· Adanya penambahan perolehan suara SBY-Boediono serta pengurangan suara Mega-Prabowo dan JK-Wiranto

KPU berikut KPUD seluruh Indonesia menjadi termohon dan Bawaslu serta pasangan SBY-Boediono menjadi pihak terkait. Sidang kedua perkara ini digabungkan oleh MK karena melihat adanya kesamaan pokok perkara. Persidangan terbuka dilaksanakan sebanyak 4 kali yaitu pada tanggal 4 Agustus 2009 (pemeriksaan perkara), 5 Agustus 2009 (mendengar keterangan termohon, pihak terkait, keterangan saksi, dan pembuktian), dan 6-7 Agustus 2009 (pembuktian). Pada tanggal 12 Agustus 2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.

Penetapan

Setelah keluarnya putusan MK tersebut, pada 18 Agustus 2009, KPU menetapkan SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2009-2014. Penetapan ini kemudian diikuti dengan ucapan selamat dari para calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2009 lainnya. Dalam pidato penerimaannya, SBY mengatakan bahwa Megawati, Prabowo, JK, dan Wiranto sebagai putra-putri terbaik bangsa yang telah memberikan yang terbaik kepada demokrasi di Indonesia dan mengharapkan pengabdian mereka tidak akan mengenal batas akhir dan akan terus berlanjut.

C. Kelemahan Pemilihan Umum 2009

Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan umum menjadi kunci terciptanya demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa diikuti pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi.

Dengan kata lain, salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Demokrasi sebuah bangsa hampir tidak terpahamkan tanpa pemilihan umum. Sehingga setiap pemerintahan suatu negara yang hendak menyelenggarakan pemilihan umum selalu menginginkan pelaksanaanya benar-benar mencerminkan proses demokrasi. Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut serta menentukan figur dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu.

Pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009 dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 yang lalu juga merupakan proses demokrasi di Indonesia. Namun pelaksanaannya masih belum dapat dikatakan maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak kekurangan yang timbul dalam proses demokrasi tersebut. Kekurangan tersebut antara lain:

1. kurang koordinasi, sosialisasi dan keterbatasan personil/petugas di lapangan dalam pendataan

2. Daftar Pemilih Tetap yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga terdapat warga negara yang seharusnya telah memiliki hak pilih namun tidak dapat berpatisipasi dalam Pemilihan umum legislatif.

Mahkamah menilai secara kualitas, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 masih terdapat banyak kelemahan, yaitu:

1. kelemahan berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi kependudukan masih belum tertib.

Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juga dinilai tidak memberikan kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilihan umum beserta jajarannya, sehingga pengawasan tidak berjalan efektif.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juga tidak mengakomodasi kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang memenuhi persyaratan hak pilih untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT.

2. KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilihan umum. Sehingga, lanjut terkesan kurang kompatibel dan kurang professional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya.

3. kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT dan DPS. Sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak.

4. budaya ’siap menang dan siap kalah’ dalam pemilihan umum secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilihan umum beserta para pendukungnya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, jaminan bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama sebagai formulasi negara hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak bersifat absolute.

salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi adalah pelaksanaan pemilihan umum atau yang lebih kita kenal dengan pemilu.

Pemilihan Umum 2009 telah berjalan dengan cukup baik, namun masih harus dibenahi dari berbagai sisi

B. Saran

1. Pentertibaan administrasi kependudukan

2. Membentuk peraturan perundang – undangan mengenai pemilihan umum yang memberikan kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilihan umum beserta jajarannya, sehingga pengawasan berjalan efektif dan juga mengakomodasi kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang memenuhi persyaratan hak pilih untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT.

3. KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum jangan terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilihan umum. Sehingga, tidak terkesan kurang kompatibel dan kurang professional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya.

4. Meningkatkan kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT dan DPS.

5. Menanamkan budaya ’siap menang dan siap kalah’ dalam pemilihan umum secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilihan umum beserta para pendukungnya


Daftar Pustaka

http://muhamadzainudin-dzay.blogspot.com/2009/05/pemilu-demokrasi.html

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:ZXjysk_5Jc4J:blog.unila.ac.id/maulana/files/2009/08/aplikasi-sila-4-pancasila.pdf+sila+4&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESi0DqLAekekDQcOZiCM0XL2QXVG5Y5muuklbrkBuUxJq2yzSQnvAW3_FgMMogdn0aCIJLnIsEZajY8UKSK-x2QtGPpQYefKZCSg_OthQPnI5a8F4e3iBm8sIsBlhCmVrrXbGzCc&sig=AHIEtbSXOPhMT1yRSgd3KVyL9v2T-mbXoQ

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_di_Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Presiden_dan_Wakil_Presiden_Indonesia_2009

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Anggota_DPR,_DPD,_dan_DPRD_Indonesia_2009

http://www.indobarometer.com/publish/indikator/354-pelaksanaan-pemilu-2009.html

http://www.pemilu-online.com/

http://www.pemiluindonesia.com/pemilihan-presiden/empat-kelemahan-pilpres-2009-versi-mk.html

http://mediacenter.kpu.go.id/berita/477-kekurangan-dalam-pemilu-legislatif-harus-diperbaiki-dalam-pemilu-presiden-.html